News Ticker

Menu

Latest Post

Previous
Next

Tarian

Ragam Suku Bangsa

Batik

?
?

Seni Kriya

Rumah Adat

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Uniknya Pakaian Adat Aceh

Rabu, 15 April 2015 / No Comments
pakaian adat aceh.
Pria memakai BAJE MEUKASAH atau baju jas leher tertutup. Ada sulaman keemasan menghiasi krah baju.
Jas ini dilengkapi celana panjang yang disebut CEKAK MUSANG.
Kain sarung (IJA LAMGUGAP) dilipat di pinggang berkesan gagah. Kain sarung ini terbuat dari sutra yang disongket.
Sebilah rencong atau SIWAH berkepala emas / perak dan berhiaskan permata diselipkan di ikat pinggang.
Bagian kepala ditutupi kopiah yang populer disebut MAKUTUP.
Tutup kepala ini dililit oleh TANGKULOK atau TOMPOK dari emas. TANGKULOK ini terbuat dari kain tenunan. TOMPOK ialah hiasan bintang persegi 8, bertingkat, dan terbuat dari logam mulia

BAJU ADAT WANITA ACEH :
Wanita mengenakan baju kurung berlengan panjang hingga sepinggul. Krah bajunya sangat unik menyerupai krah baju khas china.
Celana cekak musang dan sarung (IJA PINGGANG) bercorak yang dilipat sampai lutut. Corak pada sarung ini bersulam emas.
Perhiasan yang dipakai : kalung disebut KULA. Ada pula hiasan lain seperti : Gelang tangan, Gelang kaki, Anting, dan ikat pinggang (PENDING) berwarna emas.
Bagian rembut ditarik ke atas membentuk sanggul kecil dengan hiasan kecil bercorak bunga

Pada jaman dulu pelapisan terhadap status sosial yang terdapat di masyarakat Aceh, khususnya daerah Aceh Barat telah menyebabkan baju adat Aceh Barat tampil dalam beragam variasi diantaranya adalah pakaian :

1. Ulee Balang, busana untuk para raja beserta keluarganya
2. Ulee Balang busana untuk Cut dan para Ulama
3. Patut-patut (pejabat negara), pakaian untuk para tokoh masyarakat cerdik pandai
4. Rakyat jelata

Busana adat Aceh yang menonjol sekarang ini adalah yang pakaian adat tradisional yang dikenakan pada saat ada upacara adat perkawinan, khususnya karena akibat munculnya kembali apresiasi masyarakat terhadap budaya ash daerah akhir-­akhir ini.

Pakaian Adat Tradisional ULOS

/ No Comments


gambar pakaian adat sumatra utara

Ulos merupakan pakaian adat dari Sumatera Utara. Ulos adalah kain tenun khas Batak, yang secara harfiah berati selimut yang menghangatkan tubuh; melindungi dari terpaan udara dingin. Ulos bisa merankan berbagai fungsi sandang, sebagai selendang, sarung, penutup kepala, dan lain sebagainya. Hari ini, Ulos masih lestari di lingkungan masyarakat Sumatera Utara. Ulos telah dengan mulus berakulturasi dengan berbagai jenis sandang modern, seperti kemeja dan jas.

Ulos dianggap sebagai peninggalan leluhur orang Batak, yang merupakan bangsa yang hidup di dataran-dataran tinggi pegunugan. Dengan maksud tetap menjaga tubuh tetap hangat, kain Ulos mereka kenakan untuk menghalau dingin selama mereka berladang dan beraktivitas lainnya. Konon, dari tradisi ini juga lahirnya uangkapan bahwa, bagi leluhur orang Batak, ada tiga sumber yang memberi kehangatan pada manusia, yakni matahari, api dan Ulos. Jika sumber panas matahari dan api terbatas oleh ruang dan waktu, maka tidak demikian dengan Ulos, yang bisa memberi kehangatan kapanpun dan dimanapun.

Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, dari mulai sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain sebagainya. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya pada masyarakat Batak Simalungun, Ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri, Ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian pengantin Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut dalihan natolu, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).

Muhar Omtatok, salah seorang Budayawan Simalungun, berpendapat bahwa, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap (Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian, Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari tren penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

Sementara, Ulos penutup kepala pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutanSorotali.  Sortali itu sendiri adalah ikat kepala yang fungsinya seperti mahkota. Biasanya dibuat dari bahan tembaga yang disepuh dengan emas, lalu dibungkus dengan kani merah. Sortali ini digunakan pada pesta-pesta besar. Sortali digunakan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi sama seperti ulos, penggunaan sortali tidak sembarangan dan memiliki aturan sendiri.

Masyarakat Batak Toba mengenal setidaknya 24 jenis Ulos, yakni:

    1) Pinunsaan,
    2) Ragi idup,
    3) Ragi hotang,
    4) Ragi pakko,
    5) Ragi uluan,
    6) Ragi angkola,
    7) Sibolang pamontari,
    8) Sitolu tuho nagok,
    9) Sitolu tuho bolean,
    10) Suri-suri na gok,
    11) Sirara,
    12) Bintang maratur punsa,
    13) Ragi huting,
    14) Suri-suri parompa,
    15) Sitolu tuho najempek,
    16) Bintang maratur,
    17) Ranta-ranta,
    18) Sadun toba,
    19) Simarpusoran,
    20) Mangiring,
    21) Ulutorus salendang,
    22) Sibolang resta salendang,
    23) Ulos pinarsisi, dan
    24) Ulos tutur pinggir.

Bagi sebagian pemakainya, Ulos, atau Uis menurut orang Batak Karo, lebih dari sekedar kain sandang, melainkan benda bertuah yang mengandung unsur-unsur magis. Tak jarang, Ulos dianggap memiliki daya yang mampu memberikan perlindungan pada pemakainya.

Rumah Adat jambi ( Rumah Panggung )

/ No Comments
rumah tradisional jambi.

Jambi adalah kota istana yang terbentuk semenjak hadirnya kerajaan Melayu Jambi (abad XVIII), di pinggiran sungai Batanghari. Jambi dibentuk oleh kebudayaan material dan spiritual dari berbagai etnik, strata sosial, ekonomi dan sistem pemerintahan pada masa lalu, yang dapat dilihat melalui bentuk-bentuk bangunan dengan suasana/setting/rona lingkungan pinggiran sungai.

Jambi pernah berada pada masa-masa pencarian identitas rumah adat. Uniknya pencarian identitas tersebut bukan karena rumah adat di Jambi telah punah, melainkan karena terlalu banyak pilihan dan harus memilih satu di antara dua jenis arsitektur rumah tertua di Jambi. Hingga kemudian pada tahun 70-an, gubernur menyelenggarakan sayembara untuk memastikan rumah adat identitas negeri “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” ini.

Dari hasil sayembara tersebut, rumah panggung yang menjadi simbol hunian tradisional masyarakat Jambi dan kita kenal hari ini adalah Rumah Panggung Kajang Leko. Sebagai bentuk dukungan langsung, Pemerintah Provinsi Jambi membangun rumah tersebut di dalam kompleks Kantor Gubernur Jambi. Dikerjakan pada tahun 1971-1974 serta memusiumkannya. Hingga hari ini kita masih mudah menemukan Rumah Panggung Kajang Leko, bahkan di luar kantor-kantor pemerintahan. Hal ini menjadi poin positif tentunya, karena masyarakat Jambi justru bereforia membangun rumah-rumah berarsitektur adat di tengah perkembangan budaya dan rongrongan kemajuan zaman.

Rumah Panggung Kajang Leko adalah konsep arsitektur dari Marga Bathin. Sampai sekarang orang Bathin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan Kajang Leko atau Rumah Lamo pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini. Salah satu perkampungan Bathin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang.

Tipologi Rumah Kajang Leko berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran 12 meter x 9 meter. Keunikannya terletak pada struktur konstruksi dan seni ukiran yang menghiasi bangunan. Seperti yang telah kita ketahui dan dinyatakan oleh Budihardjo (1994:57), bahwa rumah adalah aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya. Selain itu rumah adalah cerminan diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai ”Status Conferring Function”, kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.

Dari segi konstruksi bubungan atap bangunan rumah panggung Kejang Lako dinamai ‘gajah mabuk’ diambil dari nama pembuat rumah yang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu orang tuanya. Bubungan tersebut dibuat menyerupai perahu dengan ujung bagian atas bubungan melengkung ke atas yang disebut potong jerambah, atau lipat kajang. Dengan atap bagian atas dinamakan kasau bentuk dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua, berfungsi untuk mencegah air hujan agar tidak masuk ke dalam rumah.

Pada bagian langit-langit ada yang dinamai tebar layar yang berfungsi sebagai dinding penutup ruang atas dan penahan rembesan tempias air hujan. Sementara ruang antara tebar layar dan bubungan atap difungsikan sebagai tempat menyimpan barang tak terpakai dinamai panteh. Dan pada bagian samping, masing-masing dinding, terbuat dari papan yang diukir. Sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang.

Rumah Panggung Kajang Lako memiliki 30 tiang yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam jajar, dengan panjang masing-masing 4,25 meter. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan juga sebagai tiang penyekat yang membagi ruangan menjadi 8 ruangan, dan keseluruhan ruangan tersebut memiliki ukuran dan kegunaannya masing-masing.
Delapan ruangan tersebut antara lain; Ruang pelamban letaknya berada di sebelah kiri bangunan induk. Ruangan ini menggunakan bambu belah yang telah diawetkan sebagai lantainya, dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Pelamban difungsikan sebagi ruang tunggu bagi tamu yang baru datang sebelum diizinkan masuk rumah. Berikutnya adalah ruang gaho, ruang ini terletak pada ujung sebelah kiri bangunan dengan posisi memanjang. Karena dalam ruang gaho terdapat dapur, tempat air dan tempat penyimpanan barang. Ruangan ini dihiasi motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho.

Di bagian depan terdapat ruang masinding. Masyarakat Jambi biasanya menggelar musyawarah adat di rungan ini, dan dipergunakan untuk tempat duduk khusus untuk kaum laki-laki. Karena ruangan ini berfungsi sebagai sarana interaksi sosial, tak heran jika kita mendapati beberapa ragam ukiran. Antara lain motif bungo tanjung yang diukirkan di bagian depan masinding. Kemudian motif tampuk manggis di atas pintu masuknya. Berikutnya kita akan menemukan motif bungo jeruk yang diukir pada luar rasuk (belandar) di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora tersbut dibuat berwarna. Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bangunan dan ruangan masinding khususnya, dengan makna filofosis menggambarkan kesuburan alam Jambi.

Setelah kita dibuat terpukau dengan ukiran-ukiran yang terdapat di ruang masinding, langsung saja kita memasuki ruang tengah. Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah Rumah Panggung Kajang Leko. Antara ruang tengah dengan ruang masinding ini tidak disekat oleh dinding. Fungsinya secara khusus, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita pada saat pelaksanaan upacara adat. Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Bathin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Ruangan ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian, atara lain; ruang makan, ruang tidur anak gadis, dan ruang tidur orang tua.

Berikutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini terletak di ujung sebelah kanan Rumah Panggung Kajang Leko dengan posisi menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai pada ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena berfungsi sebagai ruang utama, ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruangan balik melintang berukuran 2×9 meter, atau sama dengan luas ruang gaho. Seperti halnya ruang gaho, ruangan balik melintang pun dihiasi ragam ukiran yang berbentuk ikan yang sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan.
Sementara di bagian bawah terdapat ruang bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan abrang, atau memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya. Rumah Panggung Kajang Leko memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.

Rumah Panggung Kajang Leko adalah salah satu bentuk pengejawantahan cita rasa seni, budaya, dan keyakinan masyarakat Jambi yang tersirat mulai dari bentuk bangunan, fungsi ruangan, seni ukiran, dll. Padahal pada awal peradaban manusia, fungsi dasar rumah adalah untuk melindungi gangguan alam dan binatang. Namun sejalan dengan peradaban, fungsi rumah berkembang sebagai sumber rasa aman dan kenyamanan. Secara sosial rumah juga berfungsi sebagai tatus simbol dan ukuran kemakmuran. Kini keberadaan Rumah Panggung Kajang Leko juga digunakan sebagai sarana investasi, pariwisata, dan sumber penilitian akademiki.

Rumah Kebaya Merupakan Rumah Adat Betawi

/ No Comments
gambar rumah adat betawi
Apa yang terlintas dari benak Anda jika mendengar kata “Kebaya”? Boleh jadi yang pertama terpikirkan adalah pakaian nasional Indonesia. Hal tersebut tidak keliru. Hanya saja, jika Anda berpikir istilah “Kebaya” hanya untuk pakaian, Anda salah. Sebab rumah adat Betawi juga bernama Kebaya. Selain Kebaya, Betawi juga sesungguhnya memiliki rumah adat lain yang dikenal dengan nama rumah Gudang.

Seperti apa rumah Kebaya? Dalam situs www.Jakarta.go.id, dijelaskan bahwa bentuk yang menonjol dari rumah yang satu ini adalah atapnya yang serupa perisai landai. Atap ini diteruskan bersama dengan atau pun pelana yang juga lebih landai, utamanya di bagian teras rumah. Rumah Kebaya ini ada yang rapat menapak tanah namun ada juga yang memiliki tiang, seperti rumah tokoh Betawi: Si Pitung.

Rumah Kebaya ini juga banyak disebut dengan nama Rumah Bapang. Ciri utama lain dari rumah adat Betawi ini adalah teras rumah yang terbilang luas. Teras tersebut merupakan tempat kursi untuk tetamu serta bale-bale diletakkan. Jika Anda sering menyaksikan drama Si Doel Anak Sekolahan, tentu teras tersebut akan sangat mudah dibayangkan.

Apa lagi yang khas dari rumah Kebaya? Jawabannya adalah pagar yang mengelilingi teras depan rumah. Pagar ini membuat rumah semi terbuka. Umumnya tingginya mencapai 80 cm. Melangkah lebih dalam ke badan rumah, kita akan memnjumpai ruang keluarga, kamar tidur, kamar mandi, dapur serta teras extra di belakang rumah. Umumnya rumah adat Betawi dilengkapi dengan pekarangan yang luas. Dahulu, pekarangan tersebut juga dijadikan tempat untuk memakamkan anggota keluarga.

Lantas bagaimana dengan rumah Gudang? Kurang lebih sama dengan Kebaya, hanya berbeda dari atapnya saja, semacam ada variasi dengan hadirnya atap kecil di depan rumah. Adapun bagian-bagian lainnya, kurang lebih sama dengan rumah Kebaya. Namun secara umum, rumah adat Betawi secara resmi yang disebut adalah rumah Kebaya.

Bagian-bagian Rumah Kebaya
Jika ditelaah, bagian-bagian rumah adat Betawi juga mencerminkan sistem hirearki. Ruang-ruang yang ada di bagian depan rumah merupakan area semi publik, sedangkan ruangan yang letaknya di bagian dalam rumah merupakan area privat. Adapun bagian-bagian tersebut antara lain:

  1. Teras depan tempat kursi untuk tetamu serta bale-bale untuk bersantai dikenal juga dengan nama Amben. Ruang ini banyak digunakan oleh anggota keluarga.
  2. Lantai pada teras depan ini diberi nama Gejogan. Ia wajib dibersihkan sebagai wujud penghormatan pada tamu. Gejogan atau lantai teras ini dianggap sakral oleh masyarakat Betawi sebab berhubungan langsung dengan tangga bernama balaksuji, pengubung rumah dengan area luar.
  3. Ruangan selanjutnya adalah kamar tamu yang juga dikenal dengan nama Paseban.
  4. Bagian selanjutnya dari rumah adat Betawi ini adalah Pangkeng. Ia merupakan ruang keluarga yang dipisahkan oleh dinding-dinding kamar.
  5. Selanjutnya adalah ruang-ruang lain yang difungsikan sebagai ruang tidur.
  6. Terakhir adalah dapur yang letaknya paling belakang. Dapur bagi orang Betawi dikenal dengan nama Srondoyan.

Rumah Adat NAD ( Rumoh Aceh )

/ No Comments
gambar rumah adat aceh.

 Rumah adat Nangro Aceh Darussalam atau disebut juga Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya. Namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Untuk memasukinya harus menaikit beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.
Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit merunduk. Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan di atas tikar.


Bagian-bagian Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah atau disebut dengan yup moh bisa digunakan untuk menyimpan berbagai benda, seperti penumbuk padi dan tempat menyimpan padi. Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.

    Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.
    Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong (rumah induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, di bagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri, posisinya menghadap ke utara atau selatan dengan pintu yang menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya sebagai tempat tidur kepala keluarga. Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan menempati rumah inong ini. Sementara orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
    Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti menenun dan menyulam. Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di bagian belakang seuramoe likot. Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu (dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot. Di bagian atas sering diberi loteng yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.

Tiang Rumoh Aceh berbahan kayu. Di samping itu, kayu pada rumoh Aceh digunakan pula untuk membuat toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya. Lantai dan dindignya terbuat dari papan. Selain itu, beberapa bahan yang digunakan untuk pembuatan Rumoh Aceh diantaranya Trieng bambu yang digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya. Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.

Untuk memperkuat bangunanya tidak menggunakan paku, tali pengikat yang berbahan tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik. Adapun atapnya menggunakan daun rumbia atau kadang menggunakan daun enau. Sementara pelepah rumbia digunakan untuk membuat rak-rak dan sanding .


Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.

Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:

    Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
    Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
    Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
    Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

Wujud dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adap tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya.  Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung).


Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan.


Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak pada atapnya. Tali hitam atau tali ijuk tersebut mempunyai kegunaan yang sangat berarti. Saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.


Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.


Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.


Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat.
Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.


Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.


Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.

Budaya Terkait

    Rencong, Senjata Khas Aceh
    Rencong,...
    Tari Saman
    Tari Saman
    Arbab
    Arbab
    Bereguh
    Bereguh
    Bungong Jeumpa
    Bungong Jeumpa
    Celempong
    Celempong
    Geundrang
    Geundrang
    Ranup Lampuan
    Ranup Lampuan



TARI REMONG ( tari selamat datang )

Senin, 13 April 2015 / No Comments

 TARI REMONG ( JAWA TIMUR )

Tari Remo merupakan tari selamat datang khas Jawa Timur yang menggambarkan karakter dinamis Jawa Timur. Daerah-daerah yang menggunakan tarian ini diantaranya Surabaya, Jombang, Malang, dan Situbondo. Tarian ini dikemas sebagai gambaran keberanian seorang pangeran yang berjuang dalam sebuah medan pertempuran. Makanya sisi kemaskulinan penari sangat dibutuhkan dalam menampilkan tarian ini. Tarian yang dipromosikan sekitar tahun1900 ini, pernah dimanfaatkan oleh nasionalis Indonesia untuk berkomunikasi kepada masyarakat.

Saat remo ditarikan selalu diiringi dengan musik gamelan dalam suatu gending yang terdiri dari bonang, saron, gambang, gender, slentem, siter, seruling, ketuk, kenong, kempul dan gong dan irama slendro. Biasanya menggunakan irama gending jula-juli Suroboyo tropongan. Tari remo dapat ditarikan dengan gaya wanita atau gaya pria, baik ditampilkan secara bersama-sama atau bergantian. Biasanya tari ini di tampilkan sebagai tari pembukaan dari seni ludruk atau wayang kulit.

Busana yang dikenakan masing-masing daerah di Jawa Timur untu menari remo memiliki khas tersendiri. Gaya Surabayaan atau juga Sawunggaling, penarinya mengenakan kostum yang terdiri dari bagian atas hitam yang menghadirkan pakaian abad 18, celana bludru hitam dengan hiasan emas dan batik. Di pinggang ada sebuah sabuk dan keris. Di paha kanan ada selendang menggantung sampai ke mata kaki. Sementara penari perempuan memakai sanggul di rambutnya.

Sementara busana gaya Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan jarum. Busana gaya Jombangan pada dasarnya sama dengan gaya Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak menggunakan kaus tetapi menggunakan rompi. Satu lagi adalah busana remong putri. Busana ini berbeda dengan gaya remong yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu bahu.

Gerakan kaki yang rancak dan dinamis menjadi karakteristik yang paling utama. Gerakan ini didukung dengan adanya lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki. Lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain itu, karakteristik yang lain yakni gerakan selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari membuat tarian ini semakin atraktif. Meskipun tari remong dulunya seni tari yang digunakan sebagai pembuka dalam pertunjukan ludruk. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dari tari remong pun mulai beralih dari pembuka pertunjukan ludruk, menjadi tarian penyambutan tamu, khususnya tamu–tamu kenegaraan.

Selain itu, tari remong juga sering ditampilkan dalam festival kesenian daerah sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa Timur. Oleh karena itulah kini tari remo tidak hanya dibawakan oleh penari pria, namun juga oleh penari wanita. Sehingga kini muncul jenis tari remong putri. Dalam pertunjukan tari remong putri, umumnya para penari akan memakai kostum tari yang berbeda dengan kostum tari remo asli yang dibawakan oleh penari pria.

Tari masyarakat Dayak ( TARI MONONG )

/ No Comments

TARI MONONG ( KALIMANTAN BARAT ) 

 Setiap budaya tentu memiliki tarian tradisional, termasuk budaya di Kalimantan Barat. Ada beberapa tarian tradisional yang hingga kini masih dijaga kelestariannya. Berikut beberapa tarian tradisional yang ada di Kalimantan Barat.

Tari Monong sering juga disebut dengan tari Manang. Tari ini merupakan sebuah tari penyembuhan yang dapat menyembuhkan atau menangkal penyakit yang ada dalam tubuh si sakit. Dalam tarian ini penari bertindak seperti seorang dukun dengan menggunakan jampi-jampi.

Tari Monong/Manang/Baliatn, merupakan tari Penyembuhan yang terdapat pada seluruh masyarakat Dayak. tari ini berfungsi sebagai penolak/penyembuh/ penangkal penyakit agar si penderita dapat sembuh kembali penari berlaku seperti dukun dengan jampi-jampi. tarian ini hadir disaat sang dukun sedang dalam keadaan trance, dan tarian ini merupakan bagian dari upacara adat Bemanang/Balian.
Tari Pingan, Merupakan Tarian Tunggal pada masyarakat Dayak Mualang Kabupaten Sekadau yang pada masa kini sebagai tari hiburan masyarakat atas rezeki/tuah/makanan yang diberikan oleh Tuhan. Tari ini menggunakan Pingan sebagai media atraksi dan tari ini berangkat dari kebudayaan leluhur pada masa lalu yang berkaitan erat dengan penerimaan/penyambutan tamu/pahlawan.